analisis-statistika.blogspot.com |
saya menemukan artikel menarik di sini..
1.
Menurut Likert sampel diambil paling sedikit 30, 50, 75,100
atau kelipatannya (Riduwan, 2008: 45)
Sumber : http://researchexpert.wordpress.com/2007/11/16/tentang-jumlah-sampel-benarkah-minimum-30/
November 16, 2007 oleh Zebua
Jumlah sampel yang dirasa cukup sehingga dapat diklaim
mewakili populasi merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh peneliti
kuantitatif. Dan jawaban klasik yang sering diberikan pada mereka adalah :
minimum 30 sampel! Saya tertarik untuk mengkritisi “angka keramat” ini karena saya
tidak pernah mendapatkan penjelasan di buku-buku pengantar statistika yang
jamak beredar, mengapa harus 30, tidak 10, 15, 20, atau 25?
Pada berbagai literatur pengantar statistika disebutkan
bahwa angka 30 merupakan pembatas untuk mengkategorikan jumlah sampel. Jika
sampel > 30 maka kategorinya adalah sampel besar, jika <= 30 kategorinya
sampel kecil. Kategori ini berimplikasi pada rumus statistika yang digunakan
jika ingin melakukan pendugaan parameter (nilai populasi, rata-rata dan
proporsi), beda kategori beda rumusnya.
Kembali ke pertanyaan utama, mengapa harus 30? benarkah
sampel berjumlah minimum 30 pasti mewakili karakter populasi? Setelah sekian
tahun akhirnya saya menemukan jawaban yang cukup masuk akal dan ilmiah. Bukan
dari literatur, tapi dari sebuah milis dan dan diskusi dengan seorang teman
yang pernah melakukan eksperimen terhadap angka “keramat” tersebut (sebenarnya
terpaksa karena ditugaskan oleh dosen :-P )
Teman di milis memberikan argumennya bahwa jumlah sampel 30
berasal dari “tingkat ketelitian” pada sebagian besar tabel-tabel statistika
yang mengisi halaman-halaman lampiran pada sejumlah textbook statistika.
Tabel-tabel tersebut adalah tabel distribusi t, tabel chi square, dan tabel
distribusi F. Yang dimaksud dengan “tingkat ketelitian” adalah detail nilai “n”
alias jumlah sampel yang digunakan untuk mencari nilai masing-masing
distribusi. Pada tabel-tabel tersebut nilai “n” mulai dari 1-30 ditampilkan
detil (n=1,n=2,n=3,n=4,…dst.) untuk “n” di atas 30 langsung melompat ke 40, 60,
120 sampai tak hingga. Jadi angka 30 merupakan nilai kritis! Untuk n>30
nilai masing-masing distribusi tersebut sudah tidak terlalu “penting” untuk
dirinci. Terus terang saya tetep tidak puas dengan paparan tersebut. Tetap saja
tidak mampu menjelaskan mengapa harus di atas 30!
Nah paparan langsung dari teman saya yang pernah melakukan
“eksperimen” terhadap angka 30 ini lebih memuaskan, ya cukup “ilmiah” lah
karena dia melakukan riset terhadap angka tersebut. Dia mengatakan bahwa
setelah mencoba beberapa kombinasi jumlah sampel misalnya 5, 10, 15, 20, 25,
30, 31, dst… secara berulang-ulang dari sebuah populasi yang menggunakan data
berukuran rasio hingga lebih dari 100 kali menunjukkan kecenderungan distribusi
sampel yang terbentuk mendekati asumsi distribusi normal ketika jumlah sampel
mencapai 30. Semakin besar jumlah sampelnya semakin normal distribusinya.
Bisa jadi penentuan angka 30 ini berdasarkan pada
“eksperimen” ini, bahwa pada saat jumlah sampel lebih besar dari 30 peluang
distribusi yang dihasilkan bentuk mirip genta alias distribusi normal semakin
besar.
Persoalannya “aturan 30″ ini cenderung berlaku bagi analisis statistika yang menuntut
terpenuhinya asumsi distribusi normal. Agar distribusi data bisa normal
syaratnya adalah data harus random, dan jumlah sampel besar. Jika jumlah
sampel “kecil” seperti yang telah dibuktikan oleh “eksperimen” teman saya di
atas, bentuk genta tidak tercipta dengan baik, bisa rada menceng ke kanan, atau
kekiri, atau bergelombang.
Kembali pada pesan yang ingin saya sampaikan melalui tulisan
ini adalah : bukan jumlah yang menentukan suatu sampel mewakili atau tidak
mewakili karakter suatu populasi. Ada banyak faktor yang menentukan tingkat
representasi sampel misalnya tehnik penarikan sampel, ketersediaan kerangka
sampel, heterogenitas populasi dll. Jika sampel ditarik secara random maka
menurut teori probabilita bisa dianggap mewakili, namun jika kerangka sampelnya
tidak lengkap data yang dihasilkan bisa bias karena ada anggota populasi yang
tidak ikut menjadi “peserta”, dan jika populasinya homogen murni bisa jadi satu
sampel sudah cukup mewakili. Bukankah untuk mencoba sepanci sup sebelum
dihidangkan Anda tak perlu menghabiskannya? Cukuplah sesendok dicicip,
membuktikan apakah sopnya berhak mendapatkan “gelar” mak nyuss
SO….SIZE DOES’NT MATTER, DOES IT?
0 komentar:
Post a Comment