Wednesday, July 31, 2013 0 komentar

Hanya Satu Kuncinya: Ikhlas

Intisari-Online.com – Suatu tengah malam. Seorang teman lama mengirim pesan pendek lewat ponsel, “Sore tadi rumah saya terbakar.” Saya kaget. Ia seorang yang ulet bekerja, pandai membawa diri, tak suka menyakiti hati orang lain, ramah pada siapa pun. Ia sisihkan gajinya bulan demi bulan, sampai akhirnya mampu mencicil rumah tipe 36 di kawasan Tangerang. Bersama istri dan ketiga anaknya, ia isi rumah itu dengan kehangatan, kebersahajaan, dan kebahagiaan.

Kini rumah itu telah musnah atapnya. Tetangga sebelah teledor, hingga terjadi hubungan pendek arus listrik. Kebakaran itu melalap separuh rumah, sebelum menyambar rumah teman saya tadi. Terpukul, tentu. Wajahnya kuyu, tubuhnya lemas. Habis sudah jerih payahnya selama ini. Sepertiga gajinya untuk mencicil, sepertiga lagi untuk sekolah anak, dan sisanya untuk makan dan transport. Dari mana lagi uang untuk memperbaiki rumah?

Ditambah ada tetangga bermulut jahat, mengumbar kecurigaan: bukan tak mungkin sumber api berasal dari rumah teman saya. Ia marah, hampir meledak. Kuduknya tegang. Saya mencoba menenangkan sekenanya, “Ini cobaan Tuhan. Tabah, sabar, tawakkal.” Matanya sedikit menyala.

Esok lusanya saya bertandang lagi. Syukurlah, wajahnya lebih tenang. Kami mengobrol sambil duduk bersila di rumah tumpangannya. Tak dinyana, kemarin teman-temannya di kantor lama menggalang dana. Bantuan finansial pun bercucuran ke rekeningnya. Apa yang membuat segala kemudahan terbuka baginya?

Cerita ia, ketika salat, segala kemarahan, sakit hati, kebencian, buruk sangka, putus asa, segala perasaan dan pikiran negatif, ia lepaskan dalam hampa, hati merongga, ia merasakan kekosongan tanpa ruang, tanpa tepi. Saat tangan menengadah, dirinya seperti menganga. Itulah detik-detik ia merasa hatinya teramat ringan, sehingga musibah terasa anugerah.

Sejurus kemudian, segala kebuntuan tersibak. Tetangga menawarinya tumpangan dan mengirimi makanan, teman-teman mulai berdatangan, rekening banknya mulai menggeliat, RT/RW siap membantu sebagian biaya renovasi, dsb. Malah, ia berbisik, kini uangnya mulai berlipat kali dibandingkan sebelum kebakaran. Kuncinya hanya satu kata: Ikhlas. (Intisari)

0 komentar

Hidup untuk Saling Melengkapi

Intisari-Online.com – Ada seorang tua yang tinggal di sebuah desa pada lereng pegunungan. Orang tua tersebut sudah lama bekerja sebagai penjaga kebersihan, yang dibayar oleh Pemerintah setempat. Tugasnya adalah membersihkan dedaunan dan kotoran dari mata air serta sungai-sungai yang mengalir di desanya. Dengan setia dan tanpa banyak bicara, ia berpatroli di bukit-bukit, membuang daun, ranting, dan cabang-cabang pohon, serta lumpur yang menghambat aliran air.

Lama-kelamaan, desa itu menjadi tempat yang dikenal banyak orang dan menjadi salah satu tempat tujuan wisata. Angsa yang anggun berenang di aliran sugai bening, tanah pertanian dengan irigasi alamiah, barbagai tempat usaha dan restoran, serta lampu-lampu aneka warna, semakin memperindah pemandangan desa tersebut.

Tahun demi tahun pun berlalu, Di suatu sore pemerintah desa tersebut mengadakan rapat tahunan. Ketika mereka meninjau kembali pengeluaran selama ini, salah seorang memperhatikan adanya uang yang dibayarkan untuk seorang penjaga kebersihan.

"Siapa orang ini? Mengapa kita terus membayarnya dari tahun ke tahun? Kita pun tidak pernah melihat dia melakukan pekerjaannya, bukan? Kita rasa kita sudah tidak lagi memerlukannya,” kata salah satu anggota di rapat itu. Maka mereka semua yang hadir pun sepakat untuk tidak lagi mempekerjakan orang tua tersebut.

Selama beberapa minggu, tidak ada sesuatu yang berubah. Namun menginjak satu bulan setelah orang tua itu tidak lagi di izinkan bekerja oleh pemerintah desa, mulai terlihatlah dedaunan di sana sini, ranting-ranting yang berjatuhan dan kemudian mulai menghambat aliran air.

Air sungai yang tadinya sangat bening, kini mulai tampak keruh. Hingga pada akhirnya mulai juga tercium bau tidak sedap dari aliran air tersebut. Angsa-angsa indah yang tadinya berenang riang gembira di sungai itu, kini telah pergi. Sampai akhirnya berbagai penyakit pun melanda desa karena kebersihan tidak diperhatikan seperti dahulu.

Menyadari keputusan mereka yang salah beberapa waktu lalu, akhirnya Pemerintah desa kembali memanggil dan mempekerjakan orang tua penjaga kebersihan itu. Dalam waktu beberapa minggu, air sungai menjadi bersih kembali, dan segalanya berjalan lancar seperti sedia kala. Warga desa pun bergembira dan terlihat sukacita serta damai sejahtera memenuhi hati mereka, tatkala mereka melihat desa mereka menjadi bersih kembali.

Terkadang kita terlalu cepat dan salah dalam menduga, serta gegabah dalam bertindak. Ada orang-orang yang kita pandang tidak begitu penting kehadirannya dan apa yang dikerjakannya. Mungkin kita juga sering merendahkan seseorang dengan berkata, “Tanpa kamu pun saya bisa melakukan dan mengerjakannya sendiri. Tanpa kamu pun segalanya tetap akan berjalan dengan baik.” Apakah dengan meremehkan pekerjaan seseorang, lantas kita dapat melakukannya lebih baik? Sekalipun tidak. Sudah seharusnya kita dapat mencontoh teladan yang diberikan kepada kita.

Kita dapat belajar untuk senantiasa menghargai setiap orang dan apa yang sudah mereka lakukan. Masing-masing dari setiap pribadi kita memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itulah kita saling melengkapi.  (*)

Saturday, July 27, 2013 0 komentar

Tukang Cukur Kena Batunya

Intisari-Online.com – Sore itu tukang cukur sedang menggarap seorang pelanggannya. Di antara perbincangan yang biasa, tiba-tiba si tukang cukur berkata, “Saya tidak percaya Tuhan itu ada.”

“Kamu berkata begitu?” tanya si pelanggan.

“Begini, coba Anda perhatikan di luar sana, di jalanan itu, lihat ada yang sakit, ada juga anak yang terlantar. Jika Tuhan itu ada, tidak akan ada sakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan Tuhan yang penuh kasih akan membiarkan semua itu terjadi,” kata si tukang cukur sambil menunjuk ke arah jalan untuk memastikan Tuhan itu tidak ada.

Si pelanggan diam dan berpikir sejenak, tapi ia tidak ingin menanggapi karena tidak mau beradu pendapat. Setelah tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya, si pelanggan pun membayar kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

Beberapa saat kemudian, si pelanggan melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak gimbal, kotor, dan rambutnya benar-benar sangat tidak terawat.

Pelanggan itu tiba-tiba kembali lagi ke tempat tukang cukur dan berkata, “Kamu tahu, sebenarnya tukang cukur itu tidak ada.”

Si tukang cukur tidak terima, ia menjawab, “Anda kok bisa bilang begitu? Saya ada di sini, dan saya adalah tukang cukur. Dan baru saja saya mencukur Anda!”

“Tidak!” bantah si pelanggan. “Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan acak-acakan seperti orang di luar sana itu.” Pelanggan itu menunjuk ke luar ke arah orang yang rambutnya tidak terawat.

“Ah, tidak, tapi tukang cukur tetap ada. Apa yang Anda lihat itu salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang kepada saya,” jawab si tukang cukur membela diri.

“Cocok dan sangat benar!” kata si pelanggan menyetujuinya. “Itulah yang utama. Sama dengan Tuhan. Tuhan itu ada. Bahkan kasihNya kepada kita selalu ada dari dahulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya. Namun banyak orang tidak bersedia mencari dan datang kepadaNya.”

Si tukang cukur terbengong-bengong mendengarnya serta menyadari kesalahannya. (*)

Friday, July 26, 2013 0 komentar

Kekuatan Cinta

Intisari-Online.com - Sejak awal, keluarga gadis ini keberatan akan cinta sang pria. Mereka tidak setuju atas latar belakang keluarganya. Keluarga gadis seperti yakin bahwa gadis itu akan menderita selama hidupnya jika memutuskan hidup bersama pria itu.

Karena tekanan keluarganya, pasangan ini sering bertengkar. Meskipun gadis itu mencintai pria itu secara mendalam, ia selalu bertanya, “Seberapa dalam cintamu padaku?”

Sebagai seorang pria yang tidak suka dengan kata-kata itu, ia sering kali menyebabkan gadis itu menjadi sangat marah. Dengan ini dan tekanan keluarganya, gadis itu sering melampiaskan kemarahan pada dirinya.

Setelah beberapa tahun, pria itu akhirnya lulus dan memutuskan untuk melanjutkan studinya ke luar negeri. Sebelum berangkat, ia mengusulkan kepada gadis itu, “Saya tidak dapat berkata-kata dengan baik, tapi yang saya tahu adalah bahwa saya sangat mencintaimu. Jika engkau mengizinkan, saya akan mengurusmu selama sisa hidupku. Saya akan mencoba yang terbaik untuk berbicara dengan keluargamu. Maukah kau menikah denganku?”

Gadis itu setuju, dan dengan tekad pria itu, keluarga akhirnya menyerah dan setuju untuk membiarkan mereka menikah. Jadi, sebelum pria itu pergi, mereka bertunangan.

Gadis itu kemudian bekerja, sedangkan tunangannya melanjutkan studi ke luar negeri. Mereka tetap berkomunikasi dan berbagi cinta melalui surat elektronik dan telepon. Meskipun sulit, keduanya tidak pernah berpikir untuk menyerah.

Hingga suatu hari sang gadis mengalami kecelakaan hebat, dan ia kehilangan suaranya. Gadis itu tidak ingin orang lain tahu. Ia tidak ingin lagi menjadi beban pria itu, maka ia menulis surat kepadanya dan mengatakan bahwa ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Ia mengirimkan cincin pertunangannya. Ia tidak mau menerima panggilan telepon dari pria itu dan menjawab surel darinya.

Akhirnya keluarganya memutuskan untuk pindah tempat tinggal, berharap gadis itu bisa melupakan semua dan berbahagia kembali. Di lingkungan barunya, gadis itu belajar bahasa isyarat dan memulai hidup baru. Ia berusaha melupakan pria itu. Hingga suatu hari, temannya datang dan mengatakan bahwa pria itu sudah kembali pulang. Gadis itu meminta temannya untuk tidak memberitahukan kepada pria itu apa yang terjadi padanya.

Setahun berlalu, temannya kembali datang dengan sebuah amplop yang berisi kartu undangan pernikahan pria itu. Gadis itu merasa hatinya hancur. Ketika ia membuka amplop itu, ia melihat namanya tertulis di dalamnya.

Ketika ia hendak bertanya pada temannya apa yang terjadi, pria itu sudah berdiri di depannya. Ia menggunakan bahasa isyarat, yang mengatakan, “Saya telah menghabiskan waktu setahun belajar bahasa isyarat. Hanya agar engkau tahu bahwa saya tidak akan melupakan janjiku. Berikan aku kesempatan untuk menjadi suaramu. Aku cinta kamu.” Lalu, ia menyelipkan cincin itu kembali ke jari gadis itu.

Gadis itu akhirnya tersenyum. (*)

Tuesday, July 23, 2013 0 komentar

Melepaskan Belenggu

Intisari-Online.com – Seorang murid bertanya pada Guru, bagaimana cara melepaskan belenggu yang ada didalam hati? Guru itu bertanya, “Siapa yang membelenggumu?”

Murid itu menjawab, “Aku sendiri. Tetapi mengapa aku tak berhasil melepaskan diriku?”

Sang Guru bertanya lagi, “Salah siapa kalau begitu? Tidak ada yang dapat membuatmu menderita kecuali dirimu sendiri.”

Selalu tanpa kita sadari, kita terus mengikat diri kita. Kita …

Ingin bahagia, tapi tak mau berhenti bersedih.
Ingin melupakan derita, tapi pikiran terus mengingat.
Ingin memaafkan, tapi hati terus membenci.
Ingin melepaskan beban, tapi tangan terus mencengkeram.
Ingin bebas leluasa, tapi tak mau membuka ikatan.
Sang Guru bertanya lagi pada muridnya, “Siapakah yang dapat melepaskan kalung lonceng yang terikat di leher harimau?”

Semua murid diam, bingung tak tahu jawabannya. Guru bijak itu akhirnya berkata, “Dia yang mengikatkan kalung lonceng itu yang tahu cara melepaskannya.”

Hanya kitalah yang dapat melepaskan ikatan, sebab kitalah yang telah mengikat diri kita sendiri. Tetapi mengapa selalu tidak bisa?

Bukan tidak bisa, tapi kita yang tak mau.
Bukan tak bisa bahagia, tapi hati tak mau bahagia.
Bukan tak bisa senyum, tapi hati tak mau senyum.
Bukan tak bisa melupakan, tapi hati tak mau melupakan.
Bukan tak bisa berubah, tapi hati tak mau berubah.
Bukan tak bisa mengampuni, tapi hati tak mau mengampuni.
Tak ada yang dapat membuka belenggu hati sampai kita MAU membukanya sendiri. Mintalah pertolongan dari Tuhan yang akan membuat kita mampu. (SD)

Sunday, July 21, 2013 0 komentar

Jangan Menilai Dari Kulitnya Saja

Intisari-Online.com - Dalam laut bisa diduga, dalam hati siapa tahu? Pepatah lawas itu bisa berarti pula bahwa pemikiran seseorang tak mudah ditebak hanya melalui tindakan dia saja. Cerita berikut memberi gambaran betapa apa yang dibilang bodoh oleh orang lain ternyata cerdas di sisi lain.

Terkisahkan sebuah obrolan di ruang barbershop antara pencukur dan pelanggannya, seorang pengusaha yang sudah cukup umur.

Ketika sedang mencukur, seorang anak kecil berlari-lari dan melompat-lompat di depan barbershop.

"Itu Budi. Sering bermain di depan barbershop saya ini. Menurutku dia anak paling bodoh di dunia," kata tukang cukur ketika si pengusaha memperhatikan anak itu.

“Apa iya?” jawab pengusaha

Untuk membuktikan itu tukang cukur berhenti sejenak dan memanggil Budi untuk masuk. Lalu ia merogoh saku celana dan mengambil dua pecahan uang: Rp1.000 dan Rp500.

”Budi, kamu boleh pilih dan ambil salah satu uang ini. Terserah kamu mau pilih yang mana!”

Hanya melihat sepintas dua pecahan mata uang itu, Budi dengan cepat mengambil uang yang bernominal Rp500. Lalu pergi. Tukang cukur merasa menang dan berkata ke pengusaha sambil meneruskan cukurannya.

”Benar 'kan yang saya katakan tadi. Sudah tak terhitung berapa kali saya lakukan tes seperti itu tadi dan ia selalu mengambil uang yang nilainya kecil.”

Setelah selesai dicukur, pengusaha itu kembali ke kantor yang tak jauh dari barbershop. Di tengah jalan ia bertemu dengan si bocah tadi. Ia langsung bertanya.

“Bud, tadi saya melihat sewaktu tukang cukur menawarkan uang lembaran Rp1.000 dan logam Rp500, saya lihat kok yang kamu ambil uang yang Rp500. Kenapa tak ambil yang Rp.1000? Bukankah nilainya lebih besar dua kali lipat?”

”Jika saya mengambil uang Rp1.000, saya tidak akan dapat lagi Rp500 di kesempatan berikutnya. Tukang cukur itu pasti penasaran kenapa saya tidak ambil yang seribu. Kalau saya ambil yang Rp1.000, berarti permainannya akan selesai,” jawab Budi.

Begitulah, orang sukses berpikir tidak hanya untuk hari ini, tapi juga masa depan.

Friday, July 19, 2013 0 komentar

Persahabatan Menyatukan Ketidaksempurnaan

Intisari-Online.com – Kisah ini bermula saat musim dingin yang paling dingin yang pernah terjadi. Banyak hewan mati karena kedinginan.

Para landak yang menyadari situasi tersebut kemudian memutuskan untuk tinggal berkelompok agar tetap hangat. Dengan cara ini mereka akan saling melindungi. Sayangnya, duri mereka membuat sahabat terdekat mereka terluka.

Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk saling menjauhkan diri satu sama lain. Namun, ketika mereka mulai sendiri, membeku, dan akhirnya mati. Mereka harus membuat pilihan, menerima dengan baik duri sahabat mereka atau menghilang dari Bumi.

Dengan bijak, mereka memutuskan untuk kembali bersama. Mereka belajar untuk hidup dengan luka kecil akibat hubungan dekat dengan teman mereka agar mereka tetap hangat. Dengan cara ini mereka mampu bertahan hidup.

Persahabatan terbaik bukanlah menyatukan orang yang sempurna. Namun, ketika setiap individu belajar untuk hidup dengan ketidaksempurnaan orang lain dan dapat mengagumi kualitas baik dari orang lain.

Bagaimana persahabatan Anda? (*

0 komentar

Kisah dua air mata

Intisari-Online.com – Dua air mata kecil mengambang di sungai kehidupan. Satu tetes berkata kepada yang lain, “Akulah air mata seorang gadis yang mencintai seorang pria dan kehilangan dia. Siapa kau?”

“Yah, aku butiran air mata dari gadis yang memenangkan pria itu.”

Cinta sangat aneh. Cinta adalah komitmen tanpa syarat kepada seseorang yang tidak sempurna. Kita merasa kecanduan dan tergantung pada orang lain. Kita merasa kuat dan pada saat yang sama, kita membuka diri untuk disakiti. Cinta bisa membuat kita menanggung segala jenis rasa sakit dan segala jenis pengorbanan.

Inilah yang membuat kita merasa bodoh dan bertindak bodoh. Kadang-kadang ketika kita mencintai dan memberikan begitu banyak, kita hanya menemukan berapa banyak yang telah diberikan oleh orang yang kita cintai yang akhirnya  menyakiti kita dan harus mengucapkan selamat tinggal.

Lalu kita menyadari, sudah merupakan bagian penting dari diri sendiri dengan orang itu. Perasaan kosong ketika ia meninggalkan kita. Lantas kita mengeluarkan air mata untuk orang yang kita cintai itu. Ketika air mata kering, kerugian terasa pada hati kita.

Itulah yang kita lakukan ketika kita sangat peduli pada seseorang. Tapi bagaimana bisa kita menyesal? Untuk memberikan diri secara bebas dan penuh cinta adalah hal paling indah yang dapat kita lakukan. Mengasihi membuat kita nyata. Mencintai juga membuat kita menangis. Itulah sebabnya air mata menjadi indah.

Hidup ini singkat, energi kita terbatas, dengan energi yang terbatas kita menjalani hidup yang singkat untuk menuju kehidupan kekal. Jadi, jangan sia-siakan dengan hal-hal yang tidak penting. (*)

Wednesday, July 17, 2013 0 komentar

Apa Makna Hidup Kita?

Intisari-Online.com -  “Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.” (Victor Hugo)

Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.

Ada masa ketika orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.

Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Namun banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Akan tetapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.

Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Sayangnya tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.

Namun dua tahun berlalu, bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, “Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa- apa?

Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Akan tetapi ada bahayanya. Orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.

Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang. Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Akan tetapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.

Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.

Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. “Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya ...,” katanya.

Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.

Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.

Dokter itu memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.

Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.

Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan, “Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?”

Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.

Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi! (*)

Monday, July 15, 2013 0 komentar

Fokus dan Konsentrasi

Intisari-Online.com – Kecuali kita fokus, kita tidak dapat mencapai tujuan kita. Memang sulit untuk fokus dan konsentrasi, tapi keduanya merupakan keterampilan yang dapat dipelajari. Kisah berikut ini mungkin bisa menjadi gambaran bagaimana kita harus fokus dan konsentrasi agar tujuan kita dapat tercapai.

Seorang Indian bijak sedang mengajar murid-muridnya seni memanah. Ia menempatkan burung kayu sebagai target dan meminta mereka agar panah ditujukan pada mata burung. Murid pertama diminta untuk menggambarkan apa yang ia lihat. Murid itu berkata, “Aku melihat pohon-pohon, cabang, daun, langit, burung, dan matanya.”

Indian bijak itu meminta murid itu untuk menunggu. Lalu ia meminta murid kedua menjawab pertanyaan yang sama. Murid itu menjawab, “Saya hanya melihat mata burung.” Orang bijak itu pun mengatakan, “Sangat baik. Sekarang, tembakkan panah itu.” Panah itu pun langsung melesat dan tepat sasaran pada mata burung kayu. (*)

 
;