2.bp.blogspot.com |
Bagi saya, Sampoerna juga sebuah Universitas tempat saya magang. Misi utama saya selama kurang lebih dua setengah tahun di sana adalah membangun sistem distribusi sendiri.
Pak Putera sangat percaya, walaupun Sampoerna punya produk bagus, kalau distribusinya ”macet”, tidak akan ada gunanya. Padahal, waktu itu produk ”kuat” Sampoerna hanya satu, yaitu Dji Sam Soe. Produk lain ketika itu hanya bersifat ”regional”, tidak bisa nasional.
Dji Sam Soe memang sangat kuat. Bahkan sampai sekarang pun masih ‘’sakti”. Nyaris tidak a
da brand lain yang bisa masuk ke segmen itu. Dji Sam Soe adalah rokok keretek termahal di Indonesia, bahkan di dunia. Sebab, di luar Indonesia, tidak ada rokok keretek…Tapi, ketika itu Pak Putera berencana me-launch produk baru yang inovatif. Belakangan, kita semua baru tahu bahwa produk tersebut adalah A Mild yang merupakan terobosan pertama dari ”kebuntuan” inovasi keretek waktu itu. Persis seperti di kasus Jawa Pos kemarin, walaupun produk cukup inovatif, kalau saluran distribusi mampet, ya gak ada gunanya.
Di antara empat P-nya marketing mix, yaitu product, price, place, and promotion, place ini memang paling susah. Biasanya, orang marketing paling suka main price aja karena hasilnya bisa terlihat langsung. Turun harga hari ini, besok volume penjualan naik.
Obat keras! Tapi, bisa berbahaya karena belum tentu memecahkan masalah sebenarnya. Bahkan, kalau terlalu sering dipakai, tidak pada tempatnya, brand image bisa hancur. Kecuali kalau sebuah brand memang diposisikan sebagai low cost atau low price.
Air Asia dan Ikea misalnya, berusaha menurunkan harga barang dengan kualitas yang sama dari waktu ke waktu. Tapi, hal itu menuntut inovasi di bidang proses dan cost. Bukan sekadar banting harga!
Sesudah price, yang sering dipermainkan orang adalah promotion, antara lain, karena ”glamor”. Jadi, ngerjainnya seneng. Juga, seringkali karena terpacu pesaing!
Price war ini adalah dua ”perang pemasaran” yang sering terjadi karena relatif mudah. Inovasi produk jauh lebih sulit karena menurut statistik 80 persen produk baru gagal karena berbagai alasan.
Karena itu, orang jadi segan melakukannya. Lebih baik nunggu! Tapi, bisa telat lho…
Selain itu, kalau kita tidak pernah mengembangkan produk baru, produk sekuat Dji Sam Soe pun akan ”mati” pada suatu ketika!
Karena itulah, Putera Sampoerna meminta saya untuk membenahi distribusi. ”Tidak ada gunanya punya produk inovatif kalau macet di distribusi,” katanya.
Nah, inilah yang paling ”ogah” dilakukan orang karena banyak pihak yang akan jadi korban, sehingga ”resistansi” akan tinggi.
Waktu itu, tugas saya mirip di PT Panggung. Mengubah model keagenan jadi model branch management. Dan itu tidak gampang!
Bayangin saja, bagaimana agen-agen Sampoerna yang sudah tiga generasi tiba-tiba diambil alih fungsinya oleh seorang kepala cabang. Mereka memang sudah sangat kaya. Tapi, masalahnya, mereka tidak mau ”kehilangan muka” di daerah masing-masing. Karena itu, negosiasi harus dijalankan dengan sabar dan pelan-pelan.
Waktu itu, saya membagi wilayah Indonesia jadi 54 area dengan mempertimbangkan, antara lain, market size, jalur logistik, serta banyaknya pedagang rokok besar dan kecil. Semua data dari BPS dicampur files sendiri dianalisis dengan cermat. Selain itu, masih disisakan area yang sulit dijangkau untuk tetap dipegang penyalur khusus.
Nah, di antara 54 area itu, akhirnya ditentukan sembilan region. Angka sembilan memang angka keramat di Sampoerna. Sebab, angka itu memang lambang kesempurnaan. Saya masih ingat, waktu itu semua nomor telepon dan nomor mobil di Sampoerna selalu berjumlah sembilan!
Karena itulah juga, logo MarkPlus Professional Service yang dimulai 1 Mei 1990 tersebut pakai bujur sangkar tiga kali tiga dengan huruf M-A-R-K-E-T-I-N-G. Pas sembilan huruf kan! Angka hokkie!
Penguasaan wilayah oleh orang yang benar-benar mengerti market sangat penting bagi Putera Sampoerna. Tanpa itu, produk seinovatif apa pun yang didorong iklan sehebat apa pun tidak akan sukses. Karena masalah distribusi ini tidak glamor, orang marketing kurang suka membicarakannya. Tapi, justru di situlah kuncinya!
Jadi, banyak orang salah ngerti bahwa Philip Morris mau membeli Sampoerna dengan harga demikian tinggi cuma karena A Mild dan iklan-iklannya yang kreatif. Mereka lupa bahwa sampai sekarang pun Sampoerna kayaknya paling solid dalam distribusi dan penguasaan pasar.
Besok saya masih akan bercerita lagi pelajaran lain yang saya dapatkan selama saya magang di Sampoerna…
sumber : http://blog.cakraperkasa.com/?p=18
0 komentar:
Post a Comment